Kamis, 08 Mei 2014

On 05.37 by Reza Nur Amrin in    No comments
Keajaiban Lima Ratus Rupiah

“Kebakaran! Kebakaran! Kebakaran!”, seru warga Kampung Paculan.
“Tolong! Tolong! Tolong!”, seru warga lainnya.
“Tuit! Tuit! Tuit!”, terdengar suara mobil pemadam kebakaran yang datang menuju kobaran api yang sedang mengamuk.
Mobil-mobil tersebut bisa bergerak cepat karena jalanan yang mereka lewati sepi karena kejadian ini terjadi di malam hari dan para warganya terutama ibu-ibu dan anak-anak masih tertidur di rumahnya masing-masing.
Sesampainya di tempat tersebut, para petugas pemadam langsung bertindak memadamkan api yang sedang mengamuk tersebut. Selang-selang dikeluarkan dan air pun langsung menyebur untuk memadamkannya. Lima belas menit kemudian api pun bisa dipadamkan. Kebakaran ini merupakan kebakaran pertama di Desa Paculan tentunya.
“Itu tadi kebakaran di mana, Pak?”, tanya Pak Sutoyo.
“Di rumahnya Pak Hardjo, Pak.”, jawab Pak Sultan.
“Penyebabnya apa?”, tanya Pak Sutoyo kembali.
“Itu loh Pak, katanya kompor gas mereka meledak, Pak.”, jawab Pak Sultan.
“Owh, begitu ya, Pak. Terima kasih ya, Pak.”, kata Pak Sutoyo.
“Malang nian nasib keluarga mereka.”, pikir Pak Sutoyo.
“Kukuruyuk... .”, seru ayam berkokok menandakan matahari mulai terbit. Tentunya aku sudah bangun dari tadi seperti biasanya. “Shalat, mandi sudah aku laksanakan, sekarang tinggal sarapan bersama keluarga,” pikirku.
Setelah itu, akupun menuju ruang makan. Baru saja sebentar di ruang makan, ibu segera datang membawa makanan untuk sarapan. “Ini dia sarapannya.”, ibu datang sambil membawa makanan dari dapur. “Wah, enak.”, kataku. “Iya dong, Nak. Inikan masakan kesukaanmu, ayam goreng.”, kata ibu. “Iya, hehehe.”, kataku sambil tertawa kecil.
Sepuluh menit kemudian, aku dan keluargaku selesai makan.
“Pak, tadi malam yang rumahnya terbakar, itu rumahnya siapa ya, Pak?”, tanya ibu.
“Tadi malam ada kebakaran? Benarkah itu, Yah?”, tanyaku bingung.
“Iya, Win. Tadi malam ada kebakaran di rumahnya Pak Hardjo.”, jelas bapak.
“Begitu ya, Yah? Kalau begitu Windy berangkat sekolah dulu ya, Yah, Bu.”, kataku.
“Ia, Nak. Hati-hati.”, jawab ibu.
“Assalamu'alaikum Wr. Wb.”, salamku untuk kedua orang tuaku.
“Wa’alaikumsalam Wr. Wb.”, menjawab salam.
Aku berangkat menuju sekolah dengan berjalan kaki. Pukul 06.40, aku sampai di sekolahku dan segera menuju ke kelas. Aku duduk di baris kedua paling kiri bersama sahabatku yaitu Cloudy. Tidak biasanya si Cloudy belum datang, biasanya ia berangkat lebih dulu dariku. “Mungkin, hari ini ia agak sedikit telat.”, pikirku. Bel pun berbunyi, “Saatnya jam pelajaran pertama dimulai, ... .”. “Kenapa belum datang Cloudy sampai jam segini?”, pikirku. “Teng! Tong!”, bunyi pengeras suara pertanda ada pengumuman yang penting. “Innalillahi, wa innailaihi roji'un. Berita duka, datang dari keluarga Pak Hardjo atau keluarga Cloudy Maulida siswi kelas 5, rumahnya kebakaran tadi malam sekitar jam 23.30 atau setengah dua belas malam. Untuk itu setiap kelas mengumpulkan uang duka dan diberikan kepada wali kelas. Terima kasih.”. “Apa? Berarti keluarga Pak Hardjo yang dimaksudkan ayah adalah keluarga Pak Hardjonya bapaknya Cloudy? Aku tidak percaya.”, pikirku sambil bersedih. “Pantes saja, Cloudy hari ini tidak berangkat.”.
Pukul 12.30, “Saatnya jam pelajaran hari ini selesai, ... .”, bunyi bel sekolah. Aku dan teman-temanku segera mendiskusikan bagaimana cara kita menolong Cloudy yang rumahnya terbakar.
“Teman-teman, yuk kita menolong Cloudy yang rumahnya terbakar”, kataku.
“Iya yuk, malang sekali nasibnya”, kata Sunny.
“Siapa nih yang punya ide menolong dia?”, tanyaku.
“Hmmm. Bagaimana kalau kita menolongnya seperti yang di acara "Upin Upin"?”, kata Raina.
He'eeeh? Jangan bercanda kau? Memang ada? Bagaimana caranya coba?”, tanyaku sambil kebingunan.
“Iya, nih serius sedikit, sih.”, kata Sunny.
“Iya, kok. Aku serius, jadi begini caranya, setiap orang hanya memberi Rp500,00 saja, begitu.”, jelas Rania.
“Apa itu tidak terlalu sedikit?”, tanya Sunny.
“Tidak, dong. Coba pikirkan, kalau setiap kelas kira-kira 30 anak saja yang menyumbang. Bukankan sudah terkumpul Rp15.000,00?”, lagiankan kita menyumbang yang penting ikhlas, bukan dari banyaknya jumlah terus kita pamer dengan jumlah uang yang kita sumbangkan?”, jelas Raina.
“Iya yah, betul juga perkataanmu.”, setujuku.
“Hmmm. Aku setuju.”, setuju Sunny.
“Baiklah, kalau begitu, kapan kita memulainya?”, tanyaku.
“Jam tiga sore, bagaimana?”, kata Raina.
“Ya, boleh.”, kataku.
“Baiklah aku setuju juga. Kalau bisa aja teman sekelas juga, yah”, kata Sunny.
“Oh, iya. Benar juga”, kataku.
Teman-teman sekelas aku ajak berkat saran Sunny. Aku semakin senang lagi karena anak-anak pada setuju. Ia tidak keberatan karena Cloudy sebagian besar dekat dengan mereka, begitu juga aku. Ya, tentunya karena anak-anak sekomplek pada bersekolah di tempat yang sama dan dekat dengan sekolah.
Anak-anak menyebar kotak sumbangan keliling komplek. Banyak warga yang senang dengan apa yang kami lakukan. Menurut mereka, kami melakukannya dengan ikhlas dan mereka juga senang karena tujuan kami sangat mulia yaitu membantu teman yang terkena musibah serta itu merupakan bentuk kasih sayang dan kepedulian kami sebagai teman mainnya maupun sekolah. Semakin sore, banyak warga yang menyumbangkan, terkadang mereka memberi lebih juga. Tidak semuanya memberi dalam bentuk uang, ada yang memberinya alat tulis semacamnya.
Pukul 17.00 kami selesai berkeliling kampung. Kami pun menghitung jumlah sumbangannya kira-kira Rp567.500,00. Itu belum lagi ada yang memberi kami sumbangan berupa alat tulis. Sebagian uang tersebut kami belikan seragam sekolah agar Cloudy bersemangat untuk kembali ke sekolah serta sisanya kami berikan dalam bentuk uang.
Keesokan harinya, aku dan teman-teman sekelas menuju tempat tinggal sementara Cloudy untuk menjenguknya serta memberikan sumbagan.
“Assalamu'alaikum Wr. Wb., Cloudy”, aku dan teman-teman sekelas memberi salam.
“Wa'alaikumsalam Wr. Wb. Eh, teman-teman. Silahkan masuk.”, kaget Cloudy.
“Iya, terima kasih Cloudy.”, kataku sebagai perwakilan kelas.
“Aduh, teman-teman kalian sangat perhatian sekali kepadaku.”, kata Cloudy sambil terharu.
“Iya, dong. Kamukan teman kami, tentunya kami perhatian.”, kata Raina.
“Oh, iya, ini sedikit sumbagan untukmu, Clou. Benarkan teman-teman?”, kata Sunny.
“Iya... .”, jawab teman-teman sekelas dengan kompak.
“Sudah, kamu jangan bersedih lagi yah, Clou. Besok berangkat sekolah lagi, yah.”, kataku.
“Aku sih, maunya bersekolah, tapi, seragamku terbakar.”, jawab Cloudy hampir menangis.
“Tenang, kami sudah membelikanmu seragam sekolah lengkap, kok.”, kata Randy.
“Ya ampun, terima kasih sekali, yah. Aku tidak pernah berpikir kalau kalian akan melakukan ini semua kepadaku, aku sangat terharu.”, kata Cloudy.
“Iya, dong. Karena kita ... .”, kataku dengan lantang.
“Sayang Cloudy. Hehehe.”, jawab sekelas dengan kompak.
Keesokan harinya, Cloudy kembali bersekolah seperti biasa dan berpakaian lengkap. Teman-teman sekelas pun bahagia karena bisa kembali melihat senyuman manis dari wajah Cloudy. Tidak terkecuali guru kami. Ia sangat senang dan bangga kepada kami semua karena kami memiliki rasa tolong menolong yang tinggi dan tidak lupa kasih sayang antar teman.

Cerpen ini, saya buat terinspirasi pada salah satu cerita dari "Upin Ipin", tentang rumah temannya yang terbakar dan teman-temannya menolongnya dengan koin-koin. Kalian dapat mendownload cerpen "Keajaiban Lima Ratus Rupiah", lewat Google Drive.

0 komentar:

Posting Komentar